Empat Puluh Hari

Malam ini seperti biasanya, aku berdiri di sudut persimpangan jalan bersama kawanku, seekor kucing kampung berwarna hitam. Begitu sunyi, seperti yang aku harapkan. Hanya terdengar bunyi detik jarum dari jam tanganku. Walaupun ini hari yang kesekian kalinya aku melakukan pekerjaan ini, tapi tetap saja jantungku berdetak lebih cepat dari bunyi detik jam tanganku. Udara malam yang begitu menusuk membuat setiap tarikan nafasku makin sulit dan semakin membuat batinku berteriak “Aku tak pernah menginginkan pekerjaan ini!.”

Sudah beberapa menit aku menunggu di tempat aku berpijak kini, menunggu seseorang yang sebenarnya tak pernah kuharapkan untuk datang malam ini. Seseorang yang sangat kukenal, walaupun hanya empat puluh hari aku menemuinya. Seseorang yang sangat tidak ingin aku temui malam ini, mungkin besok atau tahun depan aku baru siap untuk menemuinya, tapi tidak malam ini.

“Aku benar-benar belum siap untuk malam ini!” batinku berteriak kembali dan sekelebat memori-memori selama empat puluh hari bersamanya memenuhi kepalaku. Membuat kepalaku sakit dan berdenyut nyeri.

Nama seseorang itu Bellinda, wanita yang aku temui selama empat puluh hari ini. Wanita yang mengisi setiap helaan nafasku selama empat puluh hari ini. Wanita yang tak pernah hilang dari sel-sel otakku. Hanya ada Bellinda dalam hidupku selama empat puluh hari terakhir.

Aku sebenarnya sudah mengenalnya 20 tahun lalu, namun takdir yang harus mempertemukanku kembali dengannya empat puluh hari yang lalu. Ketika akhirnya aku kembali menemuinya banyak yang berubah darinya, suaranya, wajahnya, dan setiap inchi tubuhnya, tetapi aku tetap sangat mengenalnya. “Wanita yang sama” ucapku ketika itu. Tapi dia telah lupa padaku, lupa sama sekali, mungkin karena selama 20 tahun ini begitu banyak memori yang mengisi setiap ruang di otaknya dan menyingkirkan ruanganku. Dan itu bukan masalah yang besar bagiku. Itu hal yang sangat wajar, yang penting aku masih mengenalnya.

Karena dia telah lupa pada diriku, aku ragu untuk menemuinya secara langsung. Aku hanya berani memandangnya dari jauh, aku yakin menemuinya secara tiba-tiba hanya akan membuatnya takut. Meskipun begitu aku tetap berusaha mengikuti setiap jejak langkah yang ditinggalkannya. Mengawasinya.

Selama empat puluh hari ini aku baru benar-benar mengenalnya, setelah 20 tahun ternyata ia berubah menjadi wanita yang membuatku terpesona. Dia sosok wanita yang sering membuat jantungku seperti ingin loncat setiap melihatnya melakukan hal-hal spontan yang dapat membahayakan dirinya. Seperti ceroboh ketika menyetir, memaksakan diri memotong lembaran-lembaran karton meskipun matanya sudah tak kuasa untuk terpejam, hingga melakukan hal-hal bodoh lainnya. Aku takut melihatnya terluka, tapi ketika ia sadar melakukan hal-hal bodoh itu lalu tertawa, aku pun hanya bisa tersenyum melihatnya.

Selama empat puluh hari ini, aku akhirnya mengetahui bahwa hatinya begitu bersih, tanpa bercak hitam sedikitpun. Dia selalu memandang dunia sebagai tempat yang sempurna. Tidak pernah sekalipun dia tidak mensyukuri apa yang telah Tuhan berikan padanya. Tidak pernah sekalipun pikiran negatif terhadap orang lain merusak kesucian hatinya. Begitu tulus, begitu apa adanya. Meskipun hal-hal tersebut terkadang membuatnya jatuh ke sebuah masalah, namun ia tetap berdiri di pondasi prinsip yang telah ia bangun sejak dulu. Dan ini membuatku makin kagum dengannya.

Selama empat puluh hari ini, aku makin mengenalnya. Ternyata Bellinda tidak sekuat tampak luarnya, dia begitu rapuh. Dia selalu memaksakan untuk tersenyum di depan orang-orang yang disayanginya agar dapat menyembunyikan tiap perih yang dirasakan tubuhnya. Dia selalu tertawa sangat lebar untuk menyingkirkan setiap kerut kekhawatiran dari wajah-wajah orang yang menyayanginya, orang-orang yang mengetahui bahwa Bellinda terlalu banyak menyimpan nyeri untuk dirinya sendiri. Tidak ada kata yang dapat mendeskripsikan dirinya di mataku. Aku terlalu mengaguminya

Bunyi sepeda motor yang berlaju cepat menghentikan memori-memori itu merasuki jiwaku. Aku terhenyak dan tersadar bahwa aku kini tengah berdiri di sudut persimpangan. Dan aku makin terkejut ketika mataku bertemu dengan jarum di jam tanganku. Hanya beberapa detik lagi hingga aku akhirnya bertemu secara langsung dengan Bellinda. Adrenalinku berontak di tubuhku, “Aku tidak siap untuk bertatap muka dengannya malam ini.”

Dari kejauhan sudah terdengar buni sirine mobil ambulance, telingaku pengak mendengarnya. Waktu ternyata tidak dapat bernegosiasi denganku. Aku memang harus menemuinya malam ini. Seperti perkiraanku, Bellinda berada di mobil ambulance yang sedang mendekat itu. Aku mengetahuinya karena sebelum aku berada di tempat aku berpijak kini, aku berada di dekatnya. Aku berada di dekatnya ketika dia mulai kesakitan menahan sel-sel otaknya rusak karena penyakit kanker yang dideritanya selama ini. Namun karena begitu pengecut, aku malah pergi dan bukannya menemaninya.

Tapi kini sudah saatnya, aku menemuinya secara langsung. Aku memaksa masuk ke dalam mobil ambulance itu. Belinda terlihat pasrah dan berdoa dibantu oleh kedua orang tuanya. Melihatku berada di mobil itu, Bellinda tersenyum. Ternyata dia masih mengenalku. Meskipun telah 20 tahun tidak berjumpa dengannya. Aku memang telah berjanji kepadanya ketika dia sebelum memasuki Rahim ibunya. Aku berjanji untuk menemuinya 20 tahun lagi untuk membawanya kembali ke surga.

Belinda tersenyum dan tangannya berusaha menggapai tanganku, dia tidak takut sama sekali, meskipun aku memakai pakaian serba hitam. Mungkin dia yakin aku menemuinya untuk memenuhi janjiku dulu untuk membawanya kembali ke tempat Tuhan. Aku meraih tangannya meskipun isak tangis dari ibunya sedikit menahanku, namun aku tetap harus memenuhi janjiku padanya dan menyelesaikan pekerjaanku. Aku kini telah berjalan bersama wanita yang aku kagumi selama empat puluh hari ini, berjalan menuju tempat asal Bellinda dulu.

3 orang baik yang ngasih komen:

mohamad idham mengatakan...

gak tahan! harus komen.

yang ini unik! gatau ya lo sadar apa enggak, tapi bagian awal ceritanya, berasa memiliki rima. dan emang dalam sekejap, gw merasa keinget ma elu. --padahal emg lagi baca--
hha.

Rivan Dwiastono mengatakan...

pertama gue kira perek, kedua gue kira kembarannya yang udah kepisah dari lahir, eh ternyata doi izrail...

keren!

sudut pandang narator a.k.a si malaikat kok feminin yan? eh, apa karena pencitraan perek pas awal ya? eh? gatau deh #abaikan

Andrian Saputra mengatakan...

makasiiiih sumpah komen lo yang satu ni bikin gw terharu pan.hahahaha